Oleh : Alisa Agustine
Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus yang didapatkan dari zaman sebelum kemerdekaan. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan dimana pemerintah pusat wilayah tersebut bebas untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri. Namun semua hal itu kini menjadi suatu kontroversi. Pro kontra pun bermunculan mengenai RUUK atau Rancangan Undang- Undang Keistimewaan Yogyakarta, yang semuanya mengerucut akan pemilihan gubernur dilakukan secara pemilihan atau ditetapkan.
Hingga tahun 2010, RUU Keistimewaan Yogyakarta belum juga dirampungkan. Sudah hampir delapan tahun, sejak 2002, dimana pertama kali usul mengenai hal ini diajukan. Tahun 2008 lalu ajuan tersebut telah berada ditangan DPR yang kemudian dikembalikan lagi ke pemerintah, sampai sekarang RUU ini belum juga mencapai titik temu untuk segera disahkan.
Sejak Indonesia merdeka, baru kali ini mengenai keistimewaan Yogyakarta dipertanyakan seperti ini. Alasan pemerintah sendiri membuat suatu wacana seperti ini yakni agar membuat suatu demokrasi terbuka dimana memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat Yogyakarta untuk menjadi pemimpin di daerahnya sendiri yakni menjadi gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta.
Satu persoalan yang menjadi ganjalan utama pembahasan RUU adalah soal jabatan gubernur DIY. Mendasar pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Yang dijelaskan bahwa setiap gubernur dan wakil gubernur suatu provinsi di NKRI dipilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan masa jabatan maksimal 10 tahun atau dua kali pilkada. Yang artinya Daerah Istimewa Yogyakarta pun harus mengikuti aturan dalam undang-undang tersebut.
Dan disini berarti keistimewaan Yogyakarta tak lagi dilihat dan dihargai nilainya. Keistimewaan Yogyakarta sendiri telah diakui dalam Undang- Undang No 3 tahun 1950 Jo UU No 19 tahun 1950 mengenai Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta. Terlebih status istimewa tersebut mendapat payung hukum dari Undang-Undang Dasar 1945, yakni pasal 18A ayat 1 yang menegaskan "bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dalam undang-undang."
Yang membuat masalah semakin memanas dimana SBY sempat khilaf dimana ia mengeluarkan pernyataan bahwa monarki Daerah Istimewa Yogyakarta bertentangan dengan konstitusi. Atas statement presiden tersebut, tak hanya Sri Sultan Hamengkubuwono yang merasa kecewa, tapi juga sebagian besar masyarakat Yogyakarta.
Beberapa lembaga pun melakukan survei kepada masyarakat yogya terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan tampak kejanggalan pada akhirnya dimana hasil yang didapat perbedaannya cukup tajam. Seperti ada kepentingan politik didalam semua masalah ini.
Hasil Survei dari Kemendagri, 71% Rakyat yogyakarta menginginkan jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY dilakukan dengan cara pemilihan. Namun data survei tersebut belum jelas hasilnya, karena tidak ada transparansi data. Sehingga tampak survei tersebut seperti suatu bentuk rekayasa dan dilakukan hanya semata-mata bentuk akal-akalan dari pemerintah pusat.
Namun ketika dilakukan survei kembali oleh beberapa lembaga lain, didapatkan hasil yang berbeda tampak cukup tajam. Dimana sebagian besar masyarakat Yogyakarta menginginkan agar penentuan gubernur dan wakil gubernur dilakukan secara penetapan saja.
Apabila memang ingin melakukan survei untuk mengetahui pendapat masyarakat, maka lakukanlah survei dengan metotologi yang benar dan transparan. Termasuk lembaga apa yang dipercaya untuk melakukan survei, metode yang digunakan, dan responden yang diambil dalam survei. Dengan demikian, akuntablitas survei dapat dipertanggungjawabkan dan tidak memperkeruh suasana masyarakat Yogyakarta
Semua keputusan sebetulnya memiliki berbagai pertimbangan sebelumnya hingga sampai dilakukan pengajuan. Pemerintah memnginginkan pemilihan kepemimpinan di Yogyakarta dengan cara pemilihan karena beralasan untuk membuka kesempatan kepada seluruh masyarakat yogyakarta untuk menjadi gubernur di wilayahnya sendiri. Namun Sri Sultan Hamengkubuono X dan Paku Alam juga memiliki alas an tersendiri mempertahankan keistimewaan Yogyakarta, yakni untuk menghormati sejarah dan menjaga keselarasan DIY.
Namun yang mungkin menjadi permasalahan disini adalah waktunya yang kurang tepat untuk membahas semua ini. Seorang presiden juga seharusnya memiliki sikap kearifan dimana melihat situasi dan kondisi sebelum bertindak atau mengeluarkan pernyataan. Nyatanya, semua permasalahan mengenai pemilihan pemimpin DIY ini dibahas pada saat Yogyakarta baru saja mengalami suatu bencana, yakni Gempa gunung merapi yang cukup banyak memakan korban. Belum satu masalah selesai, kini sudah muncul masalah baru yang membuat masyarakat yogya semakin rumit.
Setiap permasalahan pasti memiliki satu jalan keluar yang terbaik bagi seluruh subjek yang terkait didalamnya. Dan disinilah tugas pemerintah untuk memilih dan menentukan jalan keluar terbaik bagi kesejahteraan seluruh masyarakat khususnya warga Yogyakarta. Terlebih di situasi dan kondisi yang tengah dialami yogyakarta saat ini, tentulah keputusan yang terbaik oleh pemerintah yang diharapkan oleh seluruh masyarakat.
0 comments:
Post a Comment